Majunya teknologi di dunia ini membuat manusia tak pernah kehabisan akal untuk menciptakan suatu karya yang dapat mengatasi berbagai masalah dalam kehidupan sehari-hari termasuk di bidang kesehatan yang sering dihadapkan pada berbagai masalah penting yang tak banyak juga manusia mengabaikan masalah di bidang ini. Masalah yang sering dihadapkan pada saat ini di dunia kesehatan yaitu masalah pada kesuburan wanita yang menyebabkan wanita mengalami kesulitan hamil setelah nikah. Dengan memanfaatkan perkembangan teknologi masalah kesuburan wanita dapat diidentifikasi kesuburannya menggunakan perangkat lunak pada komputer sehingga dapat memudahkan dokter dan sebagai pertimbangan dalam menentukan seorang wanita mengalami sindrom PCO atau tidak.
Polycystic Ovary Syndrome (PCOS) merupakan gangguan endokrin yang paling umum pada wanita dalam masa reproduksi. Berdasarkan kriteria National Institutes of Health (NIH) menyebutkan bahwa 6%-10% wanita mengalami PCOS dan Rotterdam memperluas definisi PCOS dengan prevalensi 15% wanita mengalami PCOS [1]. Sindrom ini awalnya dikenalkan oleh Stein dan Leventhal pada tahun 1935 sebagai gabungan antara tiga serangkai yang terdiri dari menstruasi yang tidak teratur (amenorrhoea), munculnya rambut pada bagian tubuh (hirsutisme) dan kegemukan (obesity) pada wanita dan munculnya beberapa kista pada indung telur [2]. PCOS banyak mendapat perhatian saat pasangan suami istri mengeluh karena kehamilan yang tak kunjung datang (infertilitas). Hingga saat ini sudah terdapat empat konferensi untuk mengetahui definisi dan kriteria diagnosis PCOS, konferensi terakhir disponsori oleh ahli dari National Institutes of Health (NIH) yang menyatakan bahwa dianjurkan untuk mempertahankan kriteria diagnostik yang dihasilkan dari konfrensi Rotterdam [3]. Salah satu kriteria Rotterdam untuk melakukan diagnosis PCOS yaitu terdapatnya keadaan ovarium polikistik (PCO) [4]. Seorang wanita memiliki keadaan ovarium oplikistik jika ditemukannya dua belas atau lebih folikel berukuran 2-9mm dan atau terjadinya peningkatan volume ovarium hingga lebih dari 10cm3 [4]. Saat ini untuk mengetahui apakah seorang wanita mengalami sindrom ovarium polikistik, dokter secara manual menghitung jumlah folikel dalam ovarium, mengidentifikasi ukuran folikel dan mengevaluasi rasio jumlah folikel terhadap volume ovarium menggunakan citra hasil pemeriksaan ultrasonografi (USG). Dalam melakukan hal seperti ini diperlukan ketelitian dan tingkat akurasi yang tinggi dari seorang dokter dalam mendeteksi ovarium polikistik agar tidak menyebabkan variabilitas, reprodusibilitas, dan efisiensi yang rendah.
Oleh karena itu dalam penelitian tugas akhir ini, akan dibangun sebuah sistem yang secara otomatis dapat mendeteksi PCOS. Dengan masukkan berupa citra ultrasonografi penelitian ini akan mampu mengidentifikasi PCOS berdasarkan morfologi folikel yang terdapat pada indung telur menggunakan kriteria dari NIH. Sehingga penelitian tugas akhir ini diharapkan dapat membantu dokter dalam menganalisis PCO pada penderita PCOS menggunakan citra USG secara akurat.
Metode pengenalan obyek folikel yang terdapat pada citra USG pada penelitian ini digunakan pendekatan algoritma Region Growing. Tujuan digunakan Region Growing agar folikel yang mempunyai karakteristik struktural dan geometrik mudah untuk di segmentasi [5]. Selain itu Region Growing dikenal sebagai algoritma segmentasi folikel yang memiliki tingkat pengenalan folikel tertinggi 78% dan relatif memiliki sedikit kesalahan dibandingkan dengan kompetitornya [5]. Setelah struktur dan keberadaan folikel bisa disegmentasi, akan digunakan metode stereologi untuk dapat mengetahui struktur geometrik secara kuantitatif pada folikel di ovarium [6] sehingga akan dapat digunakan untuk mendeteksi PCOS pada citra ultrasonografi.
No comments:
Post a Comment