Teknologi Informasi dan Strategi

Perkembangan yang cepat dari teknologi informasi beserta teknologi perang lainnya memungkinkan menciptakan jenis perang yang secara kualitatif berbeda. Perang Teluk merupakan perang dimana penguasaan pengetahuan mengungguli senjata dan taktik, seperti yang ditulis oleh Alan D. Campen “satu ons silikon didalam sebuah komputer mempunyai effek yang lebih dahsyat dari satu ton uranium”. 

    Dengan penguasaan pengetahuan yang disebabkan oleh kemajuan dalam bidang teknologi informasi, musuh dapat dibuat bertekuk lutut melalui sarana yang berupa teknologi komputer. Sebagai contoh penggunaan program kecerdasan buatan untuk mensimulasikan formasi dan kekuatan musuh memungkinkan serangan menjadi efektif dengan tingkat keberhasilan yang cukup tinggi.

    Di TV, orang Amerika bisa menyaksikan pergerakan pesawat, tank, dan kendaraan yang lain dalam Perang Teluk, tetapi mereka tidak mengerti bagaimana arus informasi yang menyebabkan semua itu terjadi. Arus informasi itulah yang lebih penting dalam fungsi militer. Ini dimungkinkan karena Amerika Serikat mempunyai “senjata” yang sangat hebat yaitu AWACS (Airborne Warning and Control System) dan J-STARS (Joint Surveillance and Target Attack Radar System). AWACS sebetulnya merupakan pesawat Boeing 707 yang dilengkapi dengan komputer, sarana komunikasi, radar, sensor yang dapat memantau 360 derajat, untuk mendeteksi pesawat dan senjata musuh dan mengirimkan data tersebut kepada J-STARS di darat. J-STARS dapat memberikan sasaran dan gambar pergerakan musuh kepada komandan pada jangkauan 155 mil dalam segala cuaca dengan ketepatan 90 persen. Dengan menggunakan teknologi ini maka sasaran dapat dipilih lebih pada menara gelombang mikro, sentral telepon, jaringan serat optik, dan sarana lain pembawa kabel koaksial komunikasi (Toffler, 1993)

    Pengaruh revolusi teknologi informasi sangat mengagumkan. Hal ini bisa dilihat dari peningkatan kemampuan komputer yang sekitar dua kali lipat setiap delapan belas bulan, jumlah pengguna internet meningkat dua kali lipat setiap tahunnya. Serat optik tunggal memungkinkan satu setengah juta percakapan dalam waktu yang bersamaan, sementara compact disk (CD) mampu menyimpan data sangat besar. Hal ini lah yang memungkinkan lahirnya konsep RMA. 

    Konsep RMA sebagai konsekuensi alamiah dari perkembangan teknologi informasi yang sangat cepat juga memungkinkan dibentuknya satuan militer yang baru, yang kegiatannya berkaitan dengan proses pengumpulan, pengolahan dan penyebaran informasi. Amerika Serikat menugaskan National Security Agency untuk merekrut 1.000 spesialis pada satuan baru yang disebut satuan perang informasi. 

    Secara strategis perang informasi mempunyai arti yang penting karena sistem informasi ini berhubungan dengan masyarakat. Dengan demikian manusia tidak lagi menjadi target utama dalam perang melainkan informasi. Dilatar belakangi oleh alasan ini lahirlah konsep perang tanpa korban (victimless war), yang secara etis lebih dapat diterima. Sepertidinyatakan Freedman, L. (1996), dalamLecture on Information Warfare: Will Battle Ever Be Joined?.

    Konsep Perang Informasi didukung perkembangan teknologi informasi dapat meningkatkan kemampuan pasukan, merubah cara kerja organisasi, skala organisasi, sistem integrasi, dan infrastruktur perang ataupun militer.

    Dalam hal peningkatan kemampuan pasukan, US Army mencoba model pertempuran yang menghubungkan setiap prajurit dengan sistem senjata secara elektronis. Tim peneliti dari Motorola dan laboratorium US Army di Natick, Massachusetts, merencanakan suatu prototipe dari peralatan untuk tentara masa depan. Helm prajurit dilengkapi dengan mikrofon untuk komunikasi, night-vision goggles dan thermal-imaging sensors untuk melihat di tempat gelap, dilengkapi layar di depan mata untuk mengetahui posisi dan mampu memberikan informasi yang akurat. Selama simulasi pertempuran di Fort Leavenworth, Kansas, divisi infantri dengan 20.000 personel, yang dilengkapi perlengkapan yang mutakhir tersebut, mampu menaklukkan pasukan dengan kekuatan tiga kali lebih besar. (Washington, D. W. Onward Cyber Soldier. Time Magazine, 146 (8)) 

    Sesuai dengan cara kerja perang, senjata yang “pintar” membutuhkan prajurit yang pintar pula. Ini sudah dibuktikan dalam Perang Teluk, Amerika dan sekutunya mengirim prajurit terbaiknya. Dengan demikian militer masa depan harus lebih menggunakan otaknya, sehingga mereka dapat berhadapan dengan orang dan budaya yang berbeda, dapat mengatasi ketidakjelasan, mengambil inisiatif, dan bahkan akan menanyakan tentang kewenangan yang boleh diambil. Perkembangan teknologi informasi akan berpengaruh pada sistem pelatihan dan pendidikan terutama yang berkaitan dengan senjata baru. Karena penggunaan teknologi informasi yang cukup intensif, tentara mengenyam pendidikan yang lebih tinggi dibandingkan orang yang bergerak pada bisnis. Sepertihasilsurvei yang dilaksanakanolehNorth Carolina's Center for Creative Leadership.Hanya 19 persen dari manager di Amerika mempunyai pendidikan post graduate, sedang di tentara 88 persen Brigadir Jenderal mempunyai pendidikan post graduate. Jadi, dalam peperangan saat ini militer tidak hanya sekedar menarik pelatuk saja tetapi memerlukan personel dengan kemampuan yang cukup tinggi. 

    Dalam hal ukuran pasukan, teknologi informasi memungkinkan penyusunan pasukan yang lebih kecil dengan formasi yang lebih luwes. Bila pada saat ini ukuran divisi adalah 10.000 sampai 18.000 personel, terdiri dari tiga atau empat brigade dengan masing-masing brigade terdiri dari tiga sampai lima batalion. Di masa depan satu brigade dengan kurang lebih 4.000 personel akan memiliki kemampuan yang sama dengan satu divisi pada saat lampau. Ini berarti bahwa lebih sedikit orang dengan teknologi akan dapat menyelesaikan tugas yang jauh lebih berat dari pada saat lampau. 

    Sesuai asas manajemen, teknologi informasi membuat organisasi militer dapat sedikit melonggarkan pengendalian. Teknologi Informasi memungkinkan kekuasaan pengambilan keputusan diserahkan pada tingkat serendah mungkin. 

    Dalam pengertian integrasi sistem, Teknologi Informasi membuat kompleksitas pada organisasi militer lebih berat dari pada sebelumnya. Kompleksitas ini dapat diatasi dengan menggunakan peranti lunak yang dirancang untuk keperluan tersebut terutama perkembangan pesat pada peranti lunak data base.

    Dalam hal infrastruktur, militer yang baru memembutuhkan jaringan informasi yang dengan band width besar. Sebagai contoh Perang Teluk, infrastruktur yang digelar mampu menampung 700.000 sambungan telepon, 152.000 pesan setiap hari, dan menggunakan 30.000 frekuensi radio. 


No comments:

Post a Comment